KUTAI KARTANEGARA – Kesejahteraan guru di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) masih menjadi persoalan. Salah satu guru di Kecamatan Anggana yang enggan disebutkan namanya menceritakan kondisi tersebut kepada awak media.
Dia memulainya dari guru honorer di salah satu Sekolah Dasar (SD) sejak tahun 2016. Saat itu ia masih mengenyam pendidikan bangku kuliah di Universitas Mulawarman, Fakultas Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Sekolahan tersebut hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempat tinggalnya di Kecamatan Anggana. “Motivasi saya mencari pemasukan,” kata wanita berusia 24 tahun itu saat diwawancarai via telepon.
Upah yang diterima saat awal-awal menjadi guru hanya Rp250 ribu per bulan selama dua tahun. Di tahun 2018, dia menerima dua kali lipat dari gaji sebelumnya. Kemudian menerima gaji pokok sebesar Rp 1,5 juta per bulan setelah empat tahun mengabdi, ditambah insentif mengajar dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim sebesar Rp1 juta.
Saat ini dia berstatus Sarjana dan masih menjadi guru honorer, belum diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Ya gaji Rp2,5 juta itu enggak cukup. Karena juga kalau kategori UMR juga masih jauh dari situ,” ucapnya.
Upah yang dianggap kecil itu mau tak mau harus diembannya, apalagi ia mengajar hampir semua mata pelajaran, kecuali agama dan olahraga. Dalam satu hari dia menghabiskan waktu selama tiga jam dengan total 25 murid.
“Dulu sempat ditawari pindah ke sekolah swasta yang ada di Balikpapan karena bayarannya lebih besar, tapi lebih milih buka les dan jualan jilbab sebagai penghasilan tambahan,” tandasnya.
Kepala Bidang Pendidikan Usia Dini dan Pendidikan Non Formal dan Informal Disdikbud Kukar Pujianto menjelaskan, upah guru honorer berbeda dengan guru berstatus PPPK dan PNS.
“Kalau honorer sekira Rp2,5 juta sedangkan gaji PPPK dan PNS kurang lebih Rp3,8 juta per bulan,” jelas Pujianto.
Menurutnya, upah guru honorer merupakan kebijakan sekolah yang diatur melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sehingga makin kecil keuangan sekolah, makin kecil pula pendapatan guru honorer. Gaji tersebut juga dipengaruhi sertifikat mengajar dan sarjana atau tidaknya seorang guru.
Pemkab Kukar menyadari upah yang diterima guru honorer tidak layak. Meski demikian, pemkab tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah ini lantaran kebijakan soal pendidikan sebagian besar ada di tangan pemerintah pusat.
Mengangkat guru menjadi PNS, misalnya, kata Pujianto, diatur pemerintah pusat. Kewenangan Pemkab hanya mengajukan formasi PPPK dan meningkatkan kompetensi guru yang berstatus sarjana.
Untuk menambah tenaga pengajar, pihaknya tidak bisa melakukannya, karena dari Pemerintah Pusat telah mengeluarkan kebijakan melarang perekrutan guru honorer.
Kondisi ini dikatakan Pujianto, Kukar sendiri masih kekurangan pengajar. Dari data Kementerian Pendidikan, Budaya, dan Riset Teknologi, ada 33.099 guru yang mengajar di seluruh sekolah negeri di Kukar, enam ribu orang di antaranya berstatus guru honorer.
“Kalau Pemda yang mengangkat guru honorer itu kena sanksi, sementara kita butuh banyak guru, jadi dilema bagi kami,” paparnya.
Karena aturan yang terbatas itu, Pemkab tidak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa berharap agar Pemerintah Pusat memperhatikan kondisi guru khususnya honorer yang ada di daerah.
“Kita di daerah harus berjuang, bagaimana teman-teman yang ada di sekolah itu bisa diangkat. Bahkan pak Bupati juga sudah menyuarakan ke pusat agar bisa terakomodir. Kami ingin diberikan kewenangan juga,” tutupnya. (zu)